A. Pengertian Mappadendang
Mappadendang
merupakan upacara syukuran panen padi dan merupakan adat masyarakat bugis sejak
dahulu kala.Biasanya dilaksanakan setelah panen raya biasanya memasuki musim
kemarau pada malam hari saat bulan purnama. Pesta adat itu diselenggarakan
dalam kaitan panen raya atau memasuki musim kemarau. Pada dasarnya mappadendang
berupa bunyi tumbukan alu ke lesung yang silih berganti sewaktu menumbuk padiKomponen
utama dalam acara ini yaitu 6 perempuan, 3 pria, bilik Baruga, lesung, alu, dan
pakaian tradisional yaitu baju Bodo.
Pesta ini merupakan bentuk pagelaran seni tradisional bugis makassar
karena merupakan sebuah pertunjukan unik yang menghasilkan bunyian irama
teratur atau
nada dari kelihaian pemain
nada dari kelihaian pemain
Para perempuan yang beraksi dalam bilik
baruga disebut Pakkindona, sedang pria yang menari dan menabur bagian
ujung lesung disebut Pakkambona. Bilik baruga terbuat dari bambu, serta
memiliki pagar yang terbuat dari anyaman bambu yang disebut Walasoji.
B. Pakaian
yang dikenakan pada saat Mappadendang
Pada saat acara Mappadendang dimulai penari dan pemain yang akan tampil
biasanya mengenakan pakaian adat yang telah ditentukan
-
Bagi wanita diwajibkan untuk memakai baju bodoh
-
Laki-laki memakai lilit kepala serta berbaju hitam ,
seluar lutut kemudian melilitkan kain sarung hitam bercorak
C. Alat yang digunakan dalam Mappadendang
- Lesung panjangnya berukuran kurang lebih 1,5 meter
dan maksimal 3 meter. Lebarnya 50 cm Bentuk
lesungnya mirip perahu kecil (jolloro; Makassar) namun berbentuk persegi panjang.
-Enam batang alat penumbuk yang biasanya terbuat dari kayu yang keras atau pun bambu berukuran setinggi orang dan ada dua jenis alat penumbuk yang berukuran pendek, kira-kira panjangnya setengah meter.
lesungnya mirip perahu kecil (jolloro; Makassar) namun berbentuk persegi panjang.
-Enam batang alat penumbuk yang biasanya terbuat dari kayu yang keras atau pun bambu berukuran setinggi orang dan ada dua jenis alat penumbuk yang berukuran pendek, kira-kira panjangnya setengah meter.
D.Tata Cara Mappadendang
Biasanya Komponen utama
dalam MAPPADENDANG terdiri atas enam perempuan, 4 pria, bilik baruga, lesung,
alu, dan pakaian tradisional, baju bodo. Mappadendang mulanya gadis dan pemuda
masyarakat biasa. Para perempuan yang beraksi dalam bilik baruga disebut
pakkindona. Kemudian pria yang menari dan menabur bagian ujung lesung disebut
pakkambona. Bilik baruga terbuat dari bambu, serta memiliki pagar dari anyaman
bambu yang disebut walasoji.
Personil yang bertugas dalam memainkan seni menumbuk
lensung ini atau mappadendang dipimpin oleh dua orang, masing-masing
berada di ulu atau kepala lesung guna mengatur ritme dan tempo irama dengan
menggunakan alat penumbuk yang berukuran pendek tersebut di atas, biasanya yang
menjadi pengatur ritme adalah mereka yang berpengalaman. Sedangkan menumbuk di
badan lesung adalah mereka perempuan atau laki-laki yang sudah mahir dengan
menggunakan bambu atau kayu yang berukuran setinggi badan orang atau
penumbuknya. Seiring dengan nada yang lahir dari kepiawaian para penumbuk, biasanya
dua orang laki-laki melakukan tari pakarena. Isi lesung yang ditumbuk
berisi dengan gabah atau padi ketan putih/hitam (ase punu bahasa bugis) yang
masih muda dan biasanya kalau musim panen tidak dijumpai lagi padi muda,
maka biasanya padi tua yang diambil sebagai pengganti, akan tetapi sebelum
ditumbuk padi itu terlebidahulu direbus selama 5 sampai 10 menit atau direndam
air mendidih selama 30 menit kemudian disangrai dengan menggunakan wajan yang
terbuat dari tanah liat tanpa menggunakan minyak dengan memakai api dari hasil
pembakaran kayu. Setelah ditumbuk sampai terpisah dengan kulitnya (dipeso
bahasa makassar) barulah perempuan menampanya (ditapi
bahasa makassar) memakai alat pattapi yang terbuat dari anyaman bambu dan rotan yang berdiameter seperti tudung saji di bawah sinar rembulan dan cahaya dari sulo atau lampu penerangan orang makassar yang terbuat dari bambu/obor minyak tanah. Kalau hasil tumbukan dari prosesi mappadendang benar-benar dianggap bersih karena sudah dipisahkan antara padi dan kulitnya, maka perempuan lainnya menyiapkan kelapa habis diparut dan gula merah yang sudah diperhalus kemudian dicampur menjadi satu bersama dengan padi yang telah ditumbuk. maka terbuatlah satu penganan atau racikan kue tradisional yang dikenal dengan nama laulung.
bahasa makassar) memakai alat pattapi yang terbuat dari anyaman bambu dan rotan yang berdiameter seperti tudung saji di bawah sinar rembulan dan cahaya dari sulo atau lampu penerangan orang makassar yang terbuat dari bambu/obor minyak tanah. Kalau hasil tumbukan dari prosesi mappadendang benar-benar dianggap bersih karena sudah dipisahkan antara padi dan kulitnya, maka perempuan lainnya menyiapkan kelapa habis diparut dan gula merah yang sudah diperhalus kemudian dicampur menjadi satu bersama dengan padi yang telah ditumbuk. maka terbuatlah satu penganan atau racikan kue tradisional yang dikenal dengan nama laulung.
E. Tujuan Mappadendang
1.
Menyatakan
rasa syukur kepada Allah
2.
Menjalin
silaturahmi
3.
Hiburan
4.
Biasanya di
jadikan ajang oleh muda mudi untuk mencari pasangan
5.
Memupuk rasa
kebersamaan
F. Mappadendang dan kisah modernisasi pertanian
Tradisi ini sudah berjalan turun
temurun. Tiap musim panen tiba, semua orang melakukan mappadendang.
Tapi, sejak tak ada lagi pare riolo dan katto bokko, ritual panen
itu jarang dilakukan. Pare riolo adalah sebutan padi varietas lama yang
tumbuh dengan batang lebih tinggi. Lebih panjang ketimbang varietas baru yang
pernah diperkenalkan pemerintah tahun 1970-an lewat program intensifikasi
pertanian, macam PB-5 dan PB-8 yang berbatang pendek.
Saat musim panen tiba para warga biasanya
memotong ujung batang padi dengan ani-ani, yang menyerupai sebuah pisau
pemotong berukuran kecil. Biasanya setelah terkumpul lantas padi hasil panenan
itu dirontokkan dengan cara menumbuk dalam sebuah lesung. Suara benturan antara
kayu penumbuk, yang disebut alu, dan lesung ini biasanya terdengar
nyaring. Membentuk irama ketukan yang khas rancak bertalu-talu. Gerakan dan
bunyi tumbukan berirama inilah yang menjadi asal-usul seni mappadendang.
Tradisi ini turun temurun. Sampai akhirnya lambat laun mulai ditinggalkan
setelah pemerintah menggulirkan program intensifikasi pertanian untuk
mendongkrak produktifitas ekonomi nasional.
Ritual semacam mappadendang sebenarnya
bukan hanya dikenal di daerah Kalabbirang. Di sejumlah tempat yang penduduknya
bergantung dari hasil usaha bertani umumnya mengenal ritual bercocok tanam.
Mulai dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Ada
upacara Mappalili sebelum pembajakan tanah. Ada Appatinro pare
atau appabenni ase sebelum bibit padi disemaikan. Ritual ini juga biasa
dilakukan saat menyimpan bibit padi di possi bolla, sebuah tempat khusus
terletak di pusat rumah yang ditujukan untuk menjaga agar tak satu binatang pun
lewat di atasnya. Lalu ritual itu dirangkai dengan massureq, membaca meong
palo karallae, salah satu epos Lagaligo tentang padi. Dan ketika panen tiba
digelarlah katto bokko, ritual panen raya yang biasanya diiringi dengan kelong
pare. Setelah melalui rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan Mapadendang.
Di Makassar dan sekitarnya ritual ini
dikenal dengan appadekko, yang berarti adengka ase lolo, kegiatan
menumbuk padi muda. Appadekko dan Mappadendang konon memang
berawal dari aktifitas ini. Bagi komunitas Pakalu, ritual mappadendang mengingatkan
kita pada kosmologi hidup petani pedesaan sehari-hari. “Padi bukan hanya sumber
kehidupan. Ia juga makhluk manusia. Ia berkorban dan berubah wujud menjadi
padi. Agar manusia memperoleh sesuatu untuk dimakan,” kata Ali yang seolah
ingin menghidupkan kembali mitos Sangiyang Sri, atau Dewi Sri di
pedesaan Jawa, yang diyakini sebagai dewi padi yang sangat dihormati.
Seiring dengan modernisasi sistem
pertanian dan orientasi pada aktifitas peningkatan “income” dan produksi
nasional. Akhirnya ritual-ritual bercocok tanam yang rutin digelar, lambat laun
mulai hilang. Lantaran sistem pertanian pendukung ritual itu semakin
ditinggalkan. Tak ada lagi memanen dengan ani-ani. Tak ada lagi katto bokko.
Tidak pula kelong pare dan mappadendang.
Bersamaan dengan itu tiada lagi penghargaan terhadap sumber kehidupan. Praktek
menanam tidak berurusan dengan anugerah Sangiyang Sri seperti yang
diyakini selama ini. Tapi soal bagaimana produk pertanian dapat mengejar target
produksi nasional yang diharapkan para penyuluh pertanian.
Sebagai
bentuk suka cita dan kesyukuran pada sang Khalik, untuk hasil panen yang
melimpah, masyarakat di Dusun Salomoni, Kelurahan Lipukasi, Kecamatan Tanete
Rilau, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, menggelar ritual adat
Mappadendang. Ritual panenan mappadendang adalah adat Bugis sejak lama, yang
diikuti seluruh petani.
Ritual ini dilakukan bersama menumbuk
padi dalam lesung panjang dengan lubang enam, hingga dua belas yang
disebut Pallungeng, menggunakan alat tumbuk yang oleh suku Bugis disebut alu.
Saat ritual, para pemukul padi menggunakan pakaian khas tradisional bernama
baju bodo. "Dulu, ritual ini dilakukan hampir di seluruh wilayah di
Sulawesi Selatan setiap musim panen raya. Namun sekarang, tradisi ini seakan
ditinggalkan dan hanya beberapa daerah saja yang masih melakukan. Itu pun hanya
segelintir," kata Muhammad Rais, salah seorang petani setempat.
Selain
bentuk suka cita, ritual mappadendang juga dimaksudkan untuk mempertahankan
warisan budaya leluhur yang dikhawatirkan makin ditinggalkan generasi muda.
Kepekaan warga Dusun Salomoni dalam menjaga budaya para leluhurnya, memang
masih sangat kental. Ritual mappadendang, biasanya dilakukan selama tiga
malam.
Komponen
utama dalam ritual tersebut mappadendang dimainkan enam perempuan, dan tiga
pria, atau secara berpasang-pasangan, petani saling berhadapan dengan
masing-masing alu di tangan. Diiringi tabuhan rebana, petikan kacapi dan suling
bambu khas suku Bugis, petani mulai memecah biji padi yang telah ditelakkan ke
dalam pallungeng, sambil sesekali memukul badan lesung mengikuti irama
rebana.
"Pada
saat memecah biji padi itulah, ada nilai kearifan dan bersamaan yang tercipta.
Dalam budaya ini, strata antara pemilik sawah maupun buruhnya, sama. Petani
yang memiliki sawah luas atau hanya sepetak pun, di ritual ini dianggap tidak
ada bedanya," katanya.
"Sangat
penting menjaga dan melestarikan seni serta budaya daerah. Pemerintah Kabupaten
Barru akan konsisten menjadikan ritual pesta panen mappadendang menjadi program
budaya tahunan dalam rangka memelihara nilai-nilai seni budaya. Mappadendang
akan kami jadikan kalender even pariwisata Kabupaten Barru dalam rangka
melestarikan nilai-nilai kearifan lokal serta peningkatan kepariwisataan,"
tandasnya.
tradisi itu sudah berjalan turun temurun. Tiap musim
panen tiba, semua orang melakukan mappadendang. Tapi, sejak tak ada lagi
pare riolo dan katto bokko, ritual panenan itu jarang dilakukan.”
Oleh
masyarakat Salomani, mapadendang juga diartikan sebagai mappaccappu pammali,
atau tolak bala agar pada saat memasuki musim tanam hingga musim panen
berikutnya, petani tetap mendapatkan kemakmuran dan hasil panen yang melimpah.
Bupati Barru Andi Idris Syukur yang ikut dalam ritual tersebut mengatakan,
peran serta seluruh masyarakat dan pemerintah dalam melestarikan budaya leluhur
harus lebih digalakkan, untuk mengantisipasi pupusnya nilai punahnya budaya
oleh budaya barat yang datang mengepung dari luar.
Ritual semacam mappadendang sebenarnya bukan
hanya dikenal di daerah Kalabbirang. Di sejumlah tempat yang penduduknya
bergantung dari hasil usaha bertani umumnya mengenal ritual bercocok tanam.
Mulai dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Ada
upacara appalili sebelum pembajakan tanah. Ada Appatinro pare
atau appabenni ase sebelum bibit padi disemaikan. Ritual ini juga biasa
dilakukan saat menyimpan bibit padi di possi balla, sebuah tempat khusus
terletak di pusat rumah yang ditujukan untuk menjaga agar tak satu binatang pun
lewat di atasnya. Lalu ritual itu dirangkai dengan massureq, membaca meong
palo karallae, salah satu epos Lagaligo tentang padi. Dan ketika panen tiba
digelarlah katto bokko, ritual panen raya yang biasanya diiringi dengan kelong
pare. Setelah melalui rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan Mapadendang.
Di Makassar dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan appadekko, yang
berarti adengka ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda. Appadekko
dan Mappadendang konon memang berawal dari aktifitas ini.
Sejak saat itu pare riolo yang biasa disemai
para petani ini mulai jarang ditanam. Dan digantikan dengan varietas ‘unggul’
padi sawah. Seperti padi Shinta, Dara, Remaja, yang merupakan produk
persilangan yang dikeluarkan Lembaga Pusat Pertanian (LP-3) Bogor. Atau
varietas unggul baru macam IR-5 dan IR-8 yang dikenal dengan PB-5 dan PB-8
yang hasil rekayasa Rice Researce Institute (IRRI). Teknik baru berupa
mesin-mesin traktor juga menggantikan sistem pengolahan tanah yang mengandalkan
tenaga sapi atau kerbau.
Seiring dengan modernisasi sistem pertanian dan
orientasi pada aktifitas peningkatan “income” dan produksi nasional.
Akhirnya ritual-ritual bercocok tanam yang rutin digelar, lambat laun mulai
hilang. Lantaran sistem pertanian pendukung ritual itu semakin ditinggalkan.
Tak ada lagi memanen dengan ani-ani. Tak ada lagi katto bokko. Tidak
pula kelong pare dan mappadendang. Bersamaan dengan itu tiada
lagi penghargaan terhadap sumber kehidupan. Praktek menanam tidak berurusan
dengan anugerah Sangiyang Sri seperti yang diyakini selama ini. Tapi
soal bagaimana produk pertanian dapat mengejar target produksi nasional yang
diharapkan para penyuluh pertanian.
Kisah modernisasi pertanian semacam ini juga
dituturkan perempuan seniman Mappadendang asal Pakalu.
“Mapadendang itu tradisi menumbuk padi. Dulu
merontokkan padi itu dengan menumbuk. Sekarang sudah pakai mesin giling.
Makanya mapadendang pun semakin jarang dilakukan,“ kata Halima.
Padahal, masih kata Halima, dalam ritual itulah rasa
kebersamaan para petani muncul. Bahkan mappadendang menjadi tempat
pertemuan muda-mudi yang ingin mencari pasangan hidup. Dalam ritual itu setiap
pasangan mulai saling mengenal calon pasangannya, memperhatikan sikap dan
tingkah lakunya. “Berbeda dengan sekarang, pertimbangannya melulu soal
ekonomi,” ujarnya sambil menggelengkan kepala.
Pengaruh modernisasi pertanian bagi kehidupan kultural
masyarakat ini juga dituturkan Ali. Jauh-jauh hari pria yang lihai
ber-mappadendang ini begitu risau sejak masuknya program pembangunan Dinas
Pertanian masa Orde Baru ini. Dalam pandangan Ali, sebagai penjelmaan dari Sangiyang
Sri yang cantik butiran-butiran padi itu juga berhak istirahat dan menerima
pelayanan dari manusia, sebelum ia sendiri melayani kehidupan kita.
“Kini penghargaan terhadap padi sebagai sumber kehidupan
sudah pudar,” kata Ali sambil mencontohkan appatinro bine, sebuah ritual
khusus yang diperuntukkan buat bibit padi sebelum ditabur di persemaian, yang
makin jarang dilakukan warga desa. “Orang-orang sekarang hanya berpikir
bagaimana bibit itu bisa cepat tumbuh dan cepat panen,” lanjutnya.
Hal senada juga diutarakan Mustari. Menurut sesepuh
komunitas Pakalu ini, munculnya program padi bibit unggul, sistem pertanian
yang efektif, telah mengubah kepercayaan hidup petani. “Sekarang orang bertani
sekadar menggarap saja,” ujarnya yang mengaku tidak kuasa menolak program
pemerintah waktu itu.
Meski demikian, tidak berarti program pembangunan
pertanian masa pemerintahan Suharto yang berhasil mengubah kultur masyarakat
pedesaan ini tanpa menuai reaksi dan protes. Di Sidrap, misalnya. Puluhan
petani enggan beralih bibit padi baru. Di Kindang yang masuk wilayah Bulukumba,
seorang petani bernama Karaeng Haji menantang seorang penyuluh pertanian yang
mendatanginya. Cerita yang dituturkan Massewali ini justeru membuktikan hasil
panen Karaeng Haji jauh lebih besar ketimbang hasil panen yang dijanjikan para
penyuluh pertanian dari Bimas. Di banyak tempat di Sulawesi Selatan, khususnya
di daerah-daerah pertanian, kasus-kasus serupa tak sedikit jumlahnya.
Alasannya pun bermacam-macam. Dikatakan, misalnya
varietas bibit baru unggulan itu kenyataannya cuma unggul sekali panen atau
paling banter dua kali panen. Adapun untuk masa tanam berikutnya mereka harus
mengganti bibit dengan cara membeli bibit baru melalui unit koperasi yang masih
dijalankan secara ‘top-dawn’ pula. Tentu saja ini menyulitkan para petani yang
harus bergonta-ganti bibit baru setiap musim tanam.
Respon yang lain juga diperlihatkan oleh komunitas
Pakalu. Seperti dituturkan Mustari dan Halima, mereka menerima varietas bibit
baru untuk sebagian persawahan mereka. Di pihak lain mereka juga tidak
meninggalkan varietas padi lama yang lebih terbukti hasilnya. Dengan cara itu
selain memperoleh hasil produksi yang melimpah, mereka pun masih bisa menjalani
mappadendang. Ritual yang menjadi bagian dari penghayatan hidup mereka
sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar