BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Kerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan besar
di Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12. Kerajaan ini merupakan bagian dari
Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaanya terletak di tepi S. Brantas yang pada
masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai.
Kerajaan Kediri lahir dari
pembagian Kerajaan Mataram oleh Raja Airlangga (1000-1049). Pemecahan ini
dilakukan agar tidak terjadi perselisihan di antara anak-anak selirnya. Tidak
ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa
bagian. Dalam bab ada disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi
dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri
(Pangjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat
ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Pangjalu
atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri.
Dalam perkembangannya Kerajaan
Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala
semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Akan
tetapi hilangnya jejak Jenggala mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya
prasasti yang ditinggalkan atau belum ditemukannya prasasti yang ditinggalkan
Kerajaan Jenggala. Kejayaan Kerajaan Kediri sempat jatuh ketika Raja Kertajaya
(1185-1222) berselisih dengan golongan pendeta. Keadaan ini dimanfaatkan oleh
Akuwu Tumapel Tunggul Ametung.
Namun kemudian kedudukannya direbut
oleh Ken Arok. Diatas bekas Kerajaan Kediri inilah Ken Arok kemudian mendirikan
Kerajaan Singasari, dan Kediri berada di bawah kekuasaan Singasari. Ketika
Singasari berada di bawah pemerintahan Kertanegara (1268-1292), terjadilah
pergolakan di dalam kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri yang selama ini tunduk
kepada Singasari bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan
Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil mengalahkan
Kertanegara dan membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri.
Setelah berhasil mengalah kan
Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di bawah pemerintahan Jayakatwang.
Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan
diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden
Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun
1293, datang tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk
membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya
untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan
Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri. Dalam perang
tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan.
II.
Rumusan Masalah
a)
Bagaimana kehidupan politik
pemerintahan kerajaaan Kediri ?
b)
Bagaimana kehidupan social
masyarakat kerajaan Kediri ?
c)
Bagaimana kehidupan ekonomi dan
pencaharian kerajaan Kediri ?
d)
Bagaimana kehidupan religi dan budhaya
kerajaan Kediri ?
III.
Tujuan
Makalah singkat
ini tidak hanya membahas tentang masalah politik dan proses bergantinya
raja-raja di Kediri, namun juga pembahasan singkat tentang keseluruhan aspek kehidupan di Kediri yang antara lain dalam
hal sosial, politik, ekonomi , dan perkembangan
agama pada saat itu. Kerajaan Kediri merupakan kerajaan yang terkenal dengan berbagai karya sastra dan ramalan
mustajab dari rajanya yaitu raja Jayabaya.
BAB
II
ISI
1. Kehidupan Politik Pemerintahan
Masa-masa awal
Kerajaan Panjalu atau Kediri tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya
memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga.
Sejarah Kerajaan
Panjalu mulai diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanyaSri Samarawijaya yang sudah diketahui, sedangkan urutan raja-raja sesudah SriJayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan
prasasti-prasasti yangditemukan.
Kerajaan Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabaya berhasil
menaklukkan Kerajaan
Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati atau Panjalu Menang .
Pada masa
pemerintahan Sri Jayabhaya inilah,
Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya.
Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawadan beberapa pulau
di Nusantara, bahkan sampai
mengalahkan pengaruhKerajaan Sriwijaya di Sumatra.
Hal ini diperkuat kronik
Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-feitahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya
selain Cina secara
berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat
itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada
Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya.
-
Raja-Raja Kediri
a. Raja Jayawarsa (1104 M)
Masa pemerintahan
Jayawarsa (1104 M) hanya dapat diketahui melalui Prasasti Sirah Keting. Dari
prasasti itu diketahui bahwa Raja Jayawarsa sangat besar perhatiannya
kepada rakyatnya dan berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup rakyatnya.
b. Sri Maharaja Rakai
Sirikan Sri Bameswara (1117-1134 M)
Raja Sri Bameswara
meninggalkan banyak prasasti,antara lain Prasasti Padeglan (1117 M ), Prasasti
Panumbangan (1120 M ), Prasasti candi Tuban (1130 M ),dan Prasasti
Tangkilan (1130 M).Raja Sri Bameswara diperkirakan memerintah hingga tahun 1134 M.
c. Raja Jayabaya
(1139 – 1157 M)
Jayabaya merupakan raja kediri yang terkemuka. Dalam masa pemerintahannya, pada tahun 1059 Saka atau tahun 1157 Masehi telah digubah sebuah kitab oleh Empu Sedah dengan
nama Kakawin Bharatayudha. Di dalam kitab ini dijumpai juga nama Jayabaya.
Sebelum kitab ini selesai ditulis, EmpuSedah meninggal dunia dan karyanya diselesaikan oleh Empu Panuluh. Suasana perang
saudara antara Jenggala dan Panjalu (Kediri) sangat memegaruhi Empu Sedah untuk menulis kitab kakawin Bharatayudha. Kitab ini menggambarkan perang
saudara antara keluarga Pandhawa dan Kurawa. Selain menyelesaikan kitab Bharatayudha, Empu Panuluh juga menulis kitablainnya,sepeti
kitab Gatutkacasraya
dan kitab Hariwangsa kedua kitab itu juga ditulis dalam bentuk kakawin.
Kerajaan Kediri mengalami masa
keemasan ketika diperintah oleh PrabuJayabaya. Sukses gemilang Kerajaan Kediri didukung oleh tampilnya cendekiawan terkemuka Empu Sedah,
Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Triguna danEmpu Manoguna. Mereka adalah
jalma sulaksana, manusia paripurna yang telahmemperoleh
derajat oboring jagad raya. Di bawah kepemimpinan Prabu Jayabhaya,Kerajaan Kediri
mencapai puncak peradaban, terbukti dengan lahirnya kitab-kitabhukum dan kenegaraan sebagaimana terhimpun dalam
karya-karya KakawinBharatayuda oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh ,
Gathotkacasraya dan Hariwangsaoleh Empu Panuluh yang hingga kini merupakan
warisan ruhani bermutu tinggi.
d. Raja Sareswara
(1159-1169 M )
Raja Sareswara atau lengkapnya Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara Janadhanawata memerintah dari tahun
1159 sampai dengan tahun 1169 Masehi.Tidak
dpat yang banyak diketahui tentang raja ini.Raja Sarweswara hanyameninggalkan
dua Prasasti,yaitu Prasasti Padeglan II
(1159 M ) dan Prasasti Kayunan ( 1161 M ).
Akan tetapi,kedua prasasti itu sampai sampai kini belum dapat diterjemahkan.
e. Sri Aryeswara (
1169 – 1181 )
Raja Saryeswara atau lengkapnya Sri Maharaja Rakai Hino
Sri AryeswaraMadhusudanawatararijaya
memerintah dari tahun 1169 sampai dengan tahun 1181 Masehi. Lencana kerajaan baginda
adalah ganesya.
f. Sri Gandra ( 1181
-1182 M )
Sri Gandra atau lengkapnya Sri Maharaja Koncaryadipa adalah
pengganti SriAryeswara.Satu – satu prasasti yang ada adalah prasasti jaring
(1181 M). Dari prasasti tersebut diketahui bahwa pada masa pemerintahannya
terdapat jabatan senopati sarwajala
(panglima angkatan laut).Adanya jabatan atau pangkat Senopati Sarwajala,
membuktikan bahwa kerajaan Panjalu mempunyai angkatan
laut.Selain itu suatu hal yang sangat menarik pada masa pemerintahan Raja Sri Gandra ialah digunakan nama-nama binatang sebagai gelar atau nama para pejabat
kerajaan,misalnya
Kebo sawalah, Lembu Agra, Gajah kuning, Macan
putih, dan Menjangan Punguh.
g. Kameswara(1182 – 1185 M )
Pada tahun 1182
Masehi yang memerintah kerajaan Kediri ialah raja Kameswara. Ia
bergelar Sri Maharaja Sri Kameswara
Triwikramawatara. Baginda memerintah hanya
sampai tahun 1185 Masehi. Pada masa pemerintahannya ditulis Kakawin Smaradhana yang isinya juga menyebutkan bahwa raja
adalah keturunan
Kamajaya. Permaisuri raja bernama Sri Kirana atau Candra
Kirana yang berasal dari
Jenggala. Kitab Smaradhanaini ditulis oleh Empu Dharmaja, sedangkan kitab
Lubdaka danWertasancaya dikarang oleh Empu
Tan Akung.
h. Kertajaya (1190 – 1222 M )
Kertajaya pada tahun 1190 M naik Thata dengan gelar Sri Maharaja Sri Sarmeswara Triwikramawatarannanindita Srengga
Digjayattunggadewanama . Kertajaya
memerintah hingga tahun 1222 M. Lencana kerajaan Kertajaya ialah sangka atau siput
terbang dan garuda mukha seperti lencana
Airlangga.Pada tahun1222 Masehi. Kertajaya
dikalahkan oleh Ken Arok dalam suatu pertempuran di desa
Ganter dekat Pujon (Malang). Dengan
kekalahan Kertajaya itu,berakhir pulalah kerajaan Kediri
sebagai penguasa daerah Jawa Timur. Selanjutnya di JawaTimur berdiri kerajaan
Singasari.
-
Kitab Perundang-Undangan
Sistem Perundang-undangan Kerajaan Kediri disusun oleh para ahli hukum yang tergabung dalam Dewan Kapujanggan
Istana. Sebelum menjalankan tugasnya para pakar hukum tadi senantiasa
melakukan studi banding dalam hal penyusunan hukum serta konstitusi dari negeri lain.
Produk hukum yang telah dihasilkan oleh dewan tersebut yaitu Kitab Darmapraja.
Kitab ini merupakan karya pustaka yang berisi Tata Tertib
Penyelenggaraan Pemerintahan dan Kenegaraan. Dalam soal pengadilan, Raja selalu
mengikuti Undang-undang ini, sehingga adil segala keputusanyang diambilnya,
membuat puas semua pihak.
Pada pasal-pasal kitab tersebut, kata “agama” dapat ditafsirkan sebagai Undang-undang atau Kitab
Perundang-undangan. Kadang yang berbeda ini perumusannya
saja, yang satu lebih panjang daripada yang lain dan merupakan kelengkapan atau penjelasan dari pasal
sejenis yang pendek. Kitab Perundang-undangan Agama adalah terutama Kitab
Undang-undang Hukum Pidana. Namun disamping Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdapat juga
Undang-undang Hukum Perdata.
Tata cara jual-beli, pembagian warisan, pernikahan dan perceraian
masuk dalam Undang-undang Hukum Perdata). Memang pada zaman Kediri belum ada perincian tegas antara Undang-undang Hukum Pidana dan
Hukum Perdata. Menurut sejarah per
Undang-undangan Hukum Perdata tumbuh dari Hukum Pidana, jadi percampuran Hukum Perdata dan Hukum Pidana dalam KitabPerundang-undangan
Agama di atas bukan suatu keganjilan ditinjau dari segi sejarah hukum.
-
Sistem Peradilan Kerajaan
Sistem peradilan
Kerajaan Kediri bertujuan untuk mencapai kepastian hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan kerajaan (Stutterheim, 1930:254). Dengan adanya kepastian hukum, maka hak dan kewajiban semua
warga kerajaan dapat dijamin.
Keseimbangan antara hak dan kewajiban warga kerajaan telah membuktikan serta membuahkan ketentraman lahir dan batin. Aparat dan
rakyat menghormati hukum atau darma semata-mata
demi terjaganya kepentingan bersama.
Semua keputusan
dalam pengadilan diambil atas nama Raja yang disebut Sang Amawabhumi artinya orang yang mempunyai atau menguasai
negara. DalamMukadimah
Darmapraja ditegaskan demikian:
Semoga Sang
Amawabhumi teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya denda, jangan
sampai salah trap. Jangan sampai orang yang bertingkah salah, luput dari tindakan. Itulah kewajiban Sang Amawabhumi, jika beliau
mengharapkankerahayuan
negaranya (Moedjanto, 1994:56).
Dalam soal pengadilan, Raja dibantu oleh dua orang Adidarma Dyaksa. Seorang Adidarma Dyaksa Kasiwan dan
seorang Adidarma Dyaksa Kabudhan, yakni kepala agama Siwa dan kepala agama Budha dengan sebutan Sang Maharsi, karena kedua agama itu merupakan agama utama
dalam Kerajaan Kediri dan segala Perundang-undangan
didasarkan agama.
Kedudukan Adidarma Dyaksa boleh disamakan dengan kedudukan HakimTinggi.
Mereka itu dibantu oleh lima Upapati artinya : pembantu dalam pengadilan adalah pembantu Adidarma Dyaksa. Mereka
itu biasa disebut Pamegat atau Sang Pamegat artinya : Sang Pemutus alias Hakim. Baik Adidarma Dyaksa maupun Upapati bergelar Sang Maharsi.
Mula-mula jumlahnya hanya lima yakni : Sang Pamegat Tirwan, Sang Pamegat Kandamuhi, Sang Pamegat
Manghuri, Sang Pamegat Jambi, Sang Pamegat Pamotan.
Mereka itu semuanya termasuk golongan Kasiwan, karena agama Siwa adalah agama resmi negara Kediri dan
mempunyai pengikut paling banyak. Pada zaman pemerintahan Prabu Jayabhaya jumlah Upapati ditambah dua menjadi
tujuh.Keduanya
termasuk golongan Kabudhan, sehingga ada lima Upapati Kasiwan dan dua Upapati Kabudhan. Perbandingan itu sudah layak mengingat
jumlah pemeluk agama Budha kalah
banyak dengan jumlah pemeluk agama Siwa. Dua Upapati Kabudhan itu ialah Sang Pamegat Kandangan Tuha dan Sang Pamegat Kandangan
Rare.
Ketika Prabu Jayabaya bertahta di Mamenang, beliau dihadap oleh pelbagai pembesar, di
antaranya Dyaksa, Upapati dan Para Panji yang paham tentang Undang-undang. Dari
uraian itu nyata bahwa Para Panji adalah pembantu para Upapati dalam melakukan pengadilan di daerah-daerah. Pangkat
Panji masih dikenal di kesultanan
Yogyakarta sampai tahun 1940. Para Panji di Kesultanan Yogya diserahi
tugas pengadilan. Jadi tidak berbeda dengan Para Panji pada zaman Kediri.
Lembaga peradilan kerajaan ini bertanggung jawab kepada Raja secara langsung.
Akan tetapi silang sengketa yang menyangkut kepentingan raja dan keluarganya, menggunakan peradilan
khusus, sehingga kontaminasi dan intervens iterhadap hasil putusan dapat dihindari.
Dalam hal ini Raja mempunyai staf hukum yang
mumpuni, profesional dan tidak diragukan lagi integritas serta kredibilitasnya.
-
Hukum Positif dan Budhaya Simbolik
Dalam masa pemerintahan
Prabu Jayabaya, prinsip pelaksanaan kenegaraanterbagi menjadi dua yakni hukum positif dan budhaya simbolik. Hukum positif merupakan hukum yang berlaku berdasar peraturan
tertulis yang disepakati bersama.Biasanya hukum ini bersifat praktis, teknis
dan mikro. Semua transaksi dan lika-liku kehidupan yang menyangkut jual beli, dagang,
ekonomi, politik, karier, birokrasi,organisasi dan perkawinan
diatur secara rinci. Pelanggaran hukum dan dendanya pun diatur secara detail.
Di samping hukum positif,
dalam menata masyarakatnya Prabu Jayabhaya menggunakan pendekatan budhaya simbolik. Untuk menunjang
keberhasilan program ini, maka diperintahkanlah
para pujangga untuk menulis karya cipta. Tujuannya agar aparat dan rakyat patuh pada norma susila. Hanya
saja apabila terjadi pelanggaran maka hukuman dan sangsinya bersifat
ghaib spiritual. Pujangga yang diberi tugas menulis kitab spiritual itu di antaranya adalah Empu Sedah dan Empu Panuluh.Empu Sedah adalah penyusun Kakawin Baratayudha pada
tahun 1079 Saka atau 1157Masehi, dengan
sengkalan berbunyi Sangha Kuda Suddha Candrama. Hanya saja,Empu Sedah keburu meninggal sebelum karyanya selesai. Kakawin Baratayudha dipersembahkan kepada
Prabu Jayabhaya, Mapanji Jayabhaya, Jayabhaya Laksana atau
Sri Warmeswara.
Tingkat kecerdasan rakyat memang berbeda-beda. Hukum positif yang disusun oleh elit negara, kadang kala kurang bisa dipahami oleh rakyat awam.Keadaan ini disadari oleh para Raja Kediri. Oleh
karena itu demi terciptanya susasana yang harmonis, lantas diciptakan nasehat-nasehat simbolis berbau mistis.Kenyataannya pesan-pesan spitirual Prabu Jayabhaya
yang dibungkus dengan ramalan ghaib tadi dipercaya oleh sebagian besar masyarakat. Sebagai pelengkap dan pengiring hukum positif, maka budhaya simbolik tersebut dapat digunakan
untuk mencapai ketertiban
sosial.
Prabu Jayabaya adalah raja besar
laksana Dewa Keadilan yang angejawantahing madyapada. Sikap hidupnya benar-benar bijaksana. Kewibawaannya telah membuat ketentraman dan kemuliaan jagat raya, yang membuat Kerajaan Kediri mencapai masa kejayaan dan keemasan.
Selama Prabu Jayabaya memegang kendali pemerintahan dan tata praja, Nusantara sungguh-sungguh diperhitungkan di
kawasan Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia Selatan. Beliau berhasil mewujudkan negara yang Gedhe Obore,
PadhangJagade, Dhuwur Kukuse, Adoh Kuncarane, Ampuh Kawibawane. Masyarakat merasakan negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Karta Raharja. Konsep Saptawa, dijadikan sebagai program utama yaitu
:
a.
Wastra
(sandang)
b.
Wareg
(pangan)
c.
Wisma
(papan)
d.
Wasis
(pendidikan)
e.
Waras
(kesehatan)
f. Waskita
(keruhanian), dan
g. Wicaksana
(kebijaksanaan).
Masyarakat Jawa percaya bahwa Prabu Jayabaya selalu bersikap arif dan bijaksana
serta menjunjung hukum yang berlaku. Semua golongan masyarakat
bersatu padu mendukung pemerintahannya. Refleksi kearifan warisan para
leluhur raja Jawa dijadikan referensi untuk membawa kebesaran Nusantara.
Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Kediri, di samping faktor kepemimpinan rajanya yang selalu mengutamakan
kepentingan umum, juga didukung oleh kejeliannya dalam menyusun Undang-undang dasar yang mengikat sekalian warganya. Kepatuhan pada konstitusi
telah membuat ketertiban di seluruh kawasan Kerajaan Kediri. Aparat kerajaan
yang terdiri dari pejabat sipil dan militer bekerja sesuai dengan amanat
konstitusi, sehingga segala kebijakan kerajaan membuahkan kemakmuran dan
ketentraman rakyat.
2. Kehidupan Sosial Masyarakat
Kehidupan sosial kemasyarakatan pada zaman Kediri, dapat dilihat pada kitab
Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun oleh Chou Ku-Fei tahun 1178 M. Dalam kitab tersebut dinyatakan bahwa orang-orang memakai kain sampai
di bawah lutut, rambutnyadiurai.
Hubungan kekerabatan dapat ditunjukan dari beberapa adat-istiadat
atau kebiasaan masyarakat Kediri. Di
antaranya setiap bulan kelima diadakan pesta air yang
dapat membuat masyarakat bergembira dengan naik perahu. Sedangkan bulan kesepuluh,
perayaan pesta berlangsung di gunung dengan alat musik terdiri dari suling, gendang
dan gambang kayu. Dalam upacara perkawinan, keluarga pengantin wanita
menerima mas kawin berupa emas. Untuk menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat,
pencuri dan perampok dikenai hukuman mati.
Selain itu ada beberapa keterangan
yang terdapat dalam berita-beritaTionghoa, seperti di kitab Ling-wai-tai-ta yang disusun Chou K’u-fei di
tahun 1178dan di kitab Chu-fan-chi oleh Chau-Ju-Kua di
tahun 1225, misalnya:
a)
Orang-orangnya memakai kain
sampai dibawah lutut , rambut diurai;
b)
Rumah-rumah bersih dan rapih,
lantai berubin hijau dan kuning;- Pertanian, peternakan, serta perdagangan maju
dan kerajaan penuh perhatian;
c)
Tidak ada hukuman badan, yang
bersalah di denda emas;
d)
Pencuri dan perampok yang
tertangkap dibunuh;
e)
Orang sakit bukan makan obat
tapi mohon sembuh para Dewa dan Buddha;
f)
Raja berpakaian sutera, sepatu
kulit, memakai emas-emasan, rambut disanggul.
g)
Raja keluar naik gajah atau
kereta, diiringi 500-700 prajurit dan rakyat jongkok;
h)
Raja dibantu 4 menteri, gaji dari menerima hasil
bumi/lainnya sewaktu-waktu
i)
Rakyat lekas naik darah dan
suka berperang, suka mengadu babi dan ayam;
j)
Kehidupan Ekonomi dan Mata
Pencaharian
Golongan-golongan dalam masyarakat Kediri dibedakan menjadi tiga
berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan.
a)
Golongan masyarakat pusat
(kerajaan), yaitu masyarakat yang terdapat dalam
lingkungan raja dan beberapa kaum kerabatnya serta kelompok pelayannya.
b)
Golongan masyarakat thani
(daerah), yaitu golongan masyarakat yang terdiri
atas para pejabat atau petugas pemerintahan di wilayah thani (daerah).
c)
Golongan masyarakat
nonpemerintah, yaitu golongan masyarakat yang
tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan pemerintah secara resmi atau
masyarakat wiraswasta.
3. Kehidupan ekonomi dan pencaharian
Dalam kehidupan ekonomi diceritakan
bahwa perekonomian Kediri bersumber
atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal sebagai penghasil beras,menanam kapas dan memelihara ulat sutra.
Dengan demikian dipandang dari aspek ekonomi, kerajaan Kediri sudah cukup
makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para
pegawainya walaupun hanya dibayar dengan hasil bumi. Demikian keterangan yang
diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta.
Untuk menopang penghasilan kerajaan ,
diberlakukan sistem pajak.Komoditas dagang berupa
beras, emas, perak, daging, dan kayu cendana. Adapun bentuk pajak berupa
beras, kayu, dan palawija.
4. Kehidupan Religi dan Budhaya
Agama yang berkembang di Kediri adalah agama hindu aliran Waisnawa( Airlangga titisan Wisnu). Dalam bidang spiritual
di Kerajaan Kediri juga sangat maju
(Pigeaud, 1924:67). Tempat ibadah dibangun di mana-mana. Para guru kebatinan
mendapat tempat yang terhormat. Bahkan Sang Prabu sendiri
kerap melakukan
tirakat, tapa brata dan semedi. Beliau suka bermeditasi di tengah hutan yang
sepi. Laku prihatin dengan cegah dhahar lawan guling, mengurangi makan tidur. Hal ini menjadi aktifitas ritual sehari-hari. Tidak mengherankan apabila Prabu Jayabhaya mengerti sadurunge winarah (Tahun sebelum
terjadi) yang bisa meramal owahgingsire jaman. Ramalan itu sungguh relevan
untuk membaca tanda-tanda jaman saat ini.
Prabu Jayabaya memerintah
antara 1130 – 1157 M. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dalam
hal hukum dan pemerintahan tidak tanggung-tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh ke depan menjadikan PrabuJayabaya layak dikenang
sepanjang masa. Kalau rakyat kecil hingga saat ini ingat pada beliau, hal
itu menunjukkan bahwa pada masanya berkuasa tindakannya selalu bijaksana dan adil terhadap rakyatnya.
Kehidupan beragama sudah diatur juga dalam Undang-undang. Tiap bab memuat pasal-pasal yang sejenis, sehingga ada
sistematika dalam penyusunan. Sudah pasti
bahwa susunannya semula menganut suatu sistem. Kitab hukum per Undang-undangan
itu disusun sebagai berikut :
a)
Bab I: Sama Beda Dana Denda, berisi ketentuan diplomasi, aliansi,konstribusi
dan sanksi.
b)
Bab II : Astadusta, berisi tentang sanksi delapan
kejahatan (penipuan, pemerasan,
pencurian, pemerkosaan,
penganiayaan, pembalakan,
penindasan dan pembunuhan)
c)
Bab III: Kawula, berisi tentang hak-hak dan kewajiban
masyarakat sipil.
d)
Bab IV : Astacorah, berisi tentang delapan macam
penyimpanganadministrasi
kenegaraan.
e)
Bab V: Sahasa,
berisi tentang sistem pelaksanaan transaksi yang berkaitan pengadaan barang dan jasa.
f)
Bab VI:Adol-atuku, berisi tentang hukum perdagangan.
g)
Bab VII: Gadai
atau Sanda, berisi tentang tata cara pengelolaan lembaga pegadaian.
h)
Bab VIII:Utang-apihutang, berisi aturan pinjam-meminjam
i)
Bab IX : Titipan, berisi tentang sistem lumbung dan
penyimpanan barang.
j)
Bab X:Pasok Tukon, berisi tentang hukum perhelatan.
k)
Bab XI:Kawarangan, berisi tentang hukum perkawinan.
l)
Bab XII: Paradara, berisi hukum dan sanksi tindak asusila.
m) Bab XIII
: Drewe kaliliran, berisi tentang sistem pembagian warisan.
n)
Bab XIV : Wakparusya, berisi tentang sanksi penghinaan dan
pencemarannama baik.
o)
Bab XV : Dendaparusya, berisi tentang sanksi pelanggaran
administrasi
p)
Bab XVI : Kagelehan, berisi tentang sanksi kelalaian yang
menyebabkankerugian publik.
q)
Bab XVII : Atukaran, berisi tentang sanksi karena
menyebarkan permusuhan.
r)
Bab XVIII: Bumi, berisi tentang tata cara pungutan pajak
s) Bab XX: Dwilatek, berisi tentang sanksi karena melakukan kebohongan publik.
t) Budhaya
Pada zaman Kediri pengaruh kebudhayaan India meresap
dalam banyak bidang kehidupan. Pengaruh kebudhayaan India itu juga terasa sekali dalam bidang Perundang-undangan. Agama Hindu-Budha
jelas menunjukkan adanya pengaruh India dalam masyarakat Kediri. Kitab
Perundang-undangan India Manawa DarmaSastra dijadikan pola Perundang-undangan Kediri
yang disebut Darma Praja yangtelah disesuaikan dengan
suasana setempat (Yoedoprawiro, 2000:123).
Demikianlah kitab Perundang-undangan itu bukan
terjemahan tepat dari kitab Perundang-undangan India.
Bahwa isi kitab Perundang-undangan agama diambil dari sari kitab Perundang-undangan India. Dalam kitab Perundang-undangan agama banyak kedapatan pasal-pasal yang dikatakan berasal dari ajaran
Bagawan Bregu, jadi berasal dari Darma Praja. Adanya pengaruh dari luar tadi memang sebuah keniscayaan, karena banyak cendekiawan Kediri yang ditugaskan belajar kemancanegara, terutama negeri Asia Tengah, Asia Selatan dan Asia
Barat.
Karya di bidang hukum tata Negara.
Empu Triguna hidup pada
masa pemerintahan Prabu Jayawarsa di Panjalu pada
tahun 1026 Saka atau 1104 Masehi (Poerbatjaraka, 1957: 18). Prabu Jayawarsaini juga menjadi patron bagi para pujangga dalam
mengembangkan dinamika ilmu hukum dan tata praja. Para cendekiawan yang berbakat diberi fasilitas untuk mengaktualisasikan idealismenya.
Pernyataan ini didukung, sebenarnya sudah digaris bawahi oleh
pujangga kita dahulu. Karya hukum dan tata praja yang telah diciptakan oleh Empu
Triguna adalah Kakawin Kresnayana. Kakawin Kresnayana berisi tentang ilmu hukum dan pemerintahan. Prabu Jayawarsa juga amat
peduli dengan kehidupan ilmu pengetahuan,
sebagai tanda bahwa beliau juga seorang humanis. Empu Manoguna adalah rekan seangkatan Empu Triguna. Keduanya merupakan pujangga
istana jaman Prabu Jayawarsa di Kerajaan Kediri. Menilik nama Empu Manoguna dan
Triguna ada bagian yang sama,
kemungkinan besar dapat diduga keduanya masih ada hubungan kerabat atau seperguruan. Yang jelas kedua Empu ini adalah konsultan
dan penasehat utama Prabu Jayawarsa.
Karya hukum dan tata praja ciptaan Empu
Manoguna adalah Kakawin Sumanasantaka, cerita
yang bersumber dari Kitab Raguwangsa karya pujangga besar dari India, Sang Kalisada. Pengaruh
India ke dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno memang besar, baik yang
bersifat Hindu maupun Budha. Hal ini tampak denganungkapan bahasa Sansekerta yang masuk dalam kosakata ilmu pengetahuan
Jawa Kuno. Sumanasantaka berasal dari kata sumanasa =
kembang dan antaka = mati. Artinya adalah mati oleh kembang. Serat
Sumanasantaka menceritakan kebijaksanaan seorang raja dalam
memimpin rakyatnya.
Karya hukum dan tata praja Empu Dharmaja yang terkenal adalah Kakawin Smaradahana
dan Kakawin Bomakawya. Kitab Smaradahana menceritakan Batara Kamajaya yang
punya sifat keagungan. Kitab Bomakawya menurut Teeuw (1946:97)menceritakan cara
memimpin yang berdasarkan pada nilai keadilan dan perdamaian.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Kerajaan Kediri / Panjalu
yang merupakan kerajaan hasil bagi dari kerajaan Kahuripan di Jawa Timur pada masa raja
Airlangga merupakan kerajaan yang patut diperhitungkan. Kerajaan yang berada di sekitar wilayah Kediri ( sekarang ) ini mengalami masa puncak kejayaan pada masa raja Jayabaya yang sangat terkenal dengan ilmu dan keahliannya dalam membaca masa depan
atau meramal. Tak hanya cakap dalam meramal, bahkan raja Jayabaya yang membawa kemakmuran bagiKediri telah mampu mengelola dan memimpin kerajaannya
dengan sangat baik.
Hal ini terbukti dari berbagai peninggalan sejarah yang telahdirekonstruksikan dan memberitahukan kepada pembaca
sekarang bahwa pada zaman kerajaan Kediri telah
muncul berbagai sastra dan budhaya yang sangat luar biasa, mulai dari kitab Bharatayudha, Hariwangsa sampai
Gatotkacasraya. Kerajaan Kediri pada masa itu merupakan kerajaan yang mandiri dan makmur, yang secara ekonomimengalami kecukupan dengan mendayagunakan pertanian, perdagangan, dan peternakan. Kehidupan yang
makmur membuat masyarakat dalam aspek sosial mengalami hal yang senada. Karena dipimpin raja yang bijak, tak urung kemajuan darimasyarakat yang berkecukupan dalam hal
sandang, pangan dan papan. Tak hanya dalam hal fisik yang mencoba dibangun oleh
raja Jayabaya pada saat itu juga telah diberlakukan ketertiban
dan hukum yang jelas dan keras bagi seluruh rakyat Kediri.Walaupun kemakmuran tersebut tidak berlangsung lama karena kemudian
kegelapan mengganti masa-masa jaya kerajaan Kediri pada masa
pemerintahan Kertajaya (1222M).Kerincuhan dan
selisih paham yang berlaku dan terjadi antara Kertajaya dan kaum brahmana ternyata membawa akhir bagi kerajaan Kediri. Brahnama
yang tidak sepahan meminta bantuan Ken Arok yang pada saat itu juga sedang
gencar-gencarnya melakukan usaha ekspansionis untuk mendirikan sebuah
kerajaan yang pada akhirnya bernama Singasari.
Namun, keberadaan kerajaan Kediri merupakan sebuah bukti
eksistensi dan kemakmuan salah satu kerajaan di Jawa Timur sebagai penerus dinasti Isyana.Dengan sistem
pemerintahan, birokrasi, ekonomi, sosial, budhaya, dan agama yangmengalami kemajuan secara gilang-gemilang.
b.
Saran
Dengan adanya makalah ini kita dapat
berpikir secara realistis bahwa sejak dulu Indonesia telah memiliki banyak kebudhayaan
yang memberikan dampak
besar terhadap kita untuk lebih maju dalam membangun Indonesia yang lebih baik
lagi baik dari segi hukum maupun kehidupan sosial budhayanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar